Rabu, 25 April 2018

Quotes of The Day (kategori : unfaedah)


Andai kau tahu apa isi hati ku, niscaya kau takkan pernah mau beranjak pergi darinya. Karena disana kau akan melihat nama mu itu entah bagaimana mungkin terhiasi dengan berbagai hal yang indah olehnya, keindahannya itu bukan hanya apa yang terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga dan terasa oleh indera. Tetapi juga keindahannya itu berkaitan dengan suatu hal yang tak nampak hingga sifatnya bukan sementara yang hanya sekilas lalu melintas. Akan tetapi, ia dapat bertahan dengan caranya sendiri untuk menghadapi godaan dari tiap nama-nama lain yang berusaha untuk mengambil tempatnya. Karena ia tau apabila ia berlalu niscaya akan sulit sekali baginya tuk menemukan tempat bermuara seindah itu.

Sabtu, 21 April 2018

ADAB DAN ETIKA DALAM MEMBACA AL-QUR'AN


 ADAB DAN ETIKA MEMBACA AL-QUR'AN

            A.    Pengertian Adab Dan Etika
a.       Adab
Adab berasal dari bahasa Arab (ادبن) yang berarti tata krama, budi pekerti, dan sopan santun. Arti adab secara keseluruhan yaitu segala bentuk sikap, prilaku atau tata cara hidup yang mencerminkan nilai, sopan santun, kehalusan, kebaikan, budi pekerti atau akhlak. Orang yang beradab adalah orang yang selalu menjalani hidupnya dengan aturan atau tata cara. Tidak ada bagian dari aktifitas kehidupannya yang terlepas dari tata cara (adab) yang diikutinya.
b.      Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti adat kebiasaan. Jadi etika adalah suatu adat kebiasaan dalam berprilaku di dalam kehidupan bermasyarakat.
            B.     Macam-Macam Adab Dan Etika Membaca Al-Qur’an
a.       Adab Membaca Al-Qur’an
1)      Hendaknya yang membaca Al-Qur’an berniat ikhlas, mengharapkan ridha Allah, bukan berniat untuk mencari dunia dan pujian.
2)      Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bersih. Bau mulut tersebut bisa dibersihkan dengan siwak atau yang semisalnya.
3)      Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci.
4)      Mengambil tempat yang bersih untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama sangat menganjurkan membaca Al-Qur’an di masjid. Disamping masjid adalah tempat yang bersih dan dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadilah i’tikaf jika diniatkan untuk i’tikaf.
5)      Menghadap kiblat ketika membaca Al-Qur’an
6)      Memulai membaca Al-Qur’an dengan membaca ta’awwudz. Menurut jumhur ulama, bacaan Ta'awudz yang benar adalah اعوذ بالله من الشيطان الرجيم. (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).
7)    Dianjurkan membaca basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) di tiap-tiap awal surah selain surah at-taubah
8)      Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan khusu’ dan berusaha untuk mentadabburi (merenungkan) setiap ayat yang dibaca.
Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi menyatakan bahwa adab sebelum membaca Al-Qur’an yakni, setelah bersiwak dan berwudhu, hendaknya duduk di tempat yang sepi dengan penuh hormat dan kerendahan sambil menghadap kiblat. Kemudian dengan menghadirkan hati dan khusu’, kita membaca Al-Qur’an dengan perasaan seperti kita sedang mendengarkan bacaan Al-Qur’an langsung dari Allah SWT
b.      Etika Membaca Al-Qur’an
1)      Sebaiknya orang yang membaca Al-Qur’an sudah dalam keadaan berwudhu, suci pakaiannya, badannya dan tempatnya serta telah bergosok gigi.
2)      Hendaknya memilih tempat yang tenang dan waktunya pun pas, karena hal tersebut dapat membuat diri lebih konsentrasi dan jiwa pun lebih tenang.
3)      Hendaknya selalu memerhatikan huruf-huruf tajwid dan membunyikan huruf sesuai dengan makhrajnya serta membacanya dengan tartil..
4)      Hendaknya membaca sambil merenungkan dan menghayati makna yang terkandung pada ayat-ayat yang dibaca.
5)      Hendaknya selalu menjaga Al-Qur’an dan tekun membacanya dan mempelajarinya hingga tidak lupa.
6)      Hendaknya tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci.
7)      Disunnahkan mengeraskan bacaan Al-Qur’an selagi tidak ada unsur yang negative, seperti riya atau yang serupa dengannya, atau dapat mengganggu orang yang sedang shalat.

Klasifikasi Hukum Ditinjau Dari Segi Bentuknya


PENGANTAR ILMU HUKUM
KLASIFIKASI HUKUM DITINJAU DARI SEGI BENTUKNYA


DISUSUN OLEH :
SAHRUL AMIN (170202001)

DOSEN PENGAMPU
HERU SUNARDI, M.H.

JURUSAN AHWAL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018


Pendahuluan
            1.      Latar Belakang
      Manusia adalah mahluk sosial sehingga memerlukan orang lain untuk mepertahankan hidupnya, dalam hubungan tersebut sering terjadi konflik maka dibuatlah aturan-aturan dalam hubungan tersebut yang kemudian kita kenal dengan hukum.
      Hukum senantiasa mengalami perkembangan, tidak hanya dalam isinya, melainkan juga dalam bertambahnya jenis-jenis yang ada. Perubahan, perkembangan, dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya menyebabkan, bahwa sistematik dan penggolongan hukum itu harus ditata kembali agar susunan rasional dari hukum itu tetap terpelihara.[1]
      Apabila kita ingin membuat suatu penggolongan besar, maka kita bisa melakukannya dalam bentuk hukum tertulis di satu pihak dan hukum tidak tertulis di lain pihak.
            2.      Rumusan Masalah
a.       Apa yang di maksud dengan hukum tertulis dan tidak tertulis?
b.      Apa contoh dari hukum tertulis?
c.       Bagaimana peran hukum tidak tertulis?


Pembahasan
A.    Pengertian hukum tertulis dan tidak tertulis
      1.      Hukum tertulis
      Hukum Tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum tertulis telah menjadi ciri dari hukum moderen yang harus mengatur serta melayani kehidupan moderen. Suatu kehidupan yang makin kompleks, bidang-bidang yang makin beraneka ragam serta perkembangan masyarakat dunia yang makin menjadi suatu masyarakat yang tersusun secara organisatoris, hubungan antar manusia yang makin kompleks pula, memang tidak hanya bisa mengandalkan pada pengaturan tradisi, kebiasaan, kepercayaan atau budaya ingatan.[2]
      2.      Hukum tidak tertulis
           Hukum tidak tertulis merupakan kebalikan dari Hukum Tertulis. Hukum tidak tertulis yaitu hukum yang tidak dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang-undangan. Hukum tidak tertulis merupakan hukum yang hidup/ berjalan dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat/ adat atau dalam praktik ketatanegaraan/ konversi.
B.     Contoh hukum tertulis dan tidak tertulis
      1.      Hukum tertulis
         Salah satu contoh hukum tertulis yaitu KUH Pidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Hukum pidana memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. Andai saja hukum itu sebenarnya untuk keadilan, maka niscaya hukum akan menjadi “tuhan” kedua bagi manusia, pasti saja pengadilan menjadi rujukan pencari keadilan bukan lagi “sarang penyamun” yang memberangus keadilan dan kebenaran.
              Bila kita mendengar kata-kata “pidana”, mestilah muncul dalam persepsi kita tentang sesuatu hal yang kejam, menakutkan bahkan mengancam. Memang benar demikian, karena secara bahasa arti atau makna pidana adalah nestapa. Artinya orang yang dikenakan pidana adalah orang yang nestapa, sedih, dan terbelenggu baik jiwa maupun raganya. Tetapi kenestapaan tersebut bukanlah diakibatkan oleh perbuatan orang lain, melainkan atas perbuatan yang dilakukannya sendiri.[3]
2.      Hukum tidak tertulis
        Contoh Hukum Tidak Tertulis: Hukum Adat yang tidak ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang-undangan namun peraturannya sudah tertanam dan dipatuhi oleh daerah tertentu/ adat tertentu sehingga menjadi sebuah pedoman dalan tata pelaksanaan kehidupan bermasyarakat.
C.     Peran hukum tidak tertulis
       Dari hasil penelitian yang berlokasi pada Pengadilan Negeri Sleman Daerah istimewa Yogyakarta dalam kurun waktu delapan tahun yaitu dimulai tahun 1980-1988, diperoleh dua kasus yang menggambarkan terdapatnya penerapan hukum tidak tertulis pada putusan hakim. Kedua putusan ini tersebut dalam perkara No. 55/1981.Pdt/G/ SImn dan No. 13/1982.Pdt/G/SImn, mengenai sengketa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali yang diatur dalam Pasal 1519-1532 KUHPerdata.
           Di dalam praktik, perjanjian ini sering merupakan faktor pemicu sengketa. antara pihak penjual dengan pihak pembeli, sehingga ke tingkat pengadilan. Secara prinsip, penyebab sengketa ini adalah terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pihak yang secara sosial ekonomis memiliki kedudukan lebih kuat, terhadap pihak lain yang secara sosial' ekonomi lemah kedudukannya. Hal ini dengan mudah dapat terjadi ketika seseorang berada dalam keadaan memerlukan materi, untuk keperluan mana ia meminjam uang kepada pihak lain. Oleh pihak lain ini, diberikan sejumlah uang, bukan dalam bentuk perjanjian hutang, namun dikonstruksl sebagai perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali.
                Sebagaiamana pasal-pasal di atas, terdapat ketentuan bahwa, penjual berkedudukan sebagai penjual sementara, yaitu dalam batas waktu yang disepakati dengan pembeli, untuk setelah ia menerima uang penjualan berhak melakukan pembelian kembali dalam tenggang waktu tersebut. Jika dalam tenggang waktu ini penjual barang tidak melakukan pembeiian kembali atas barangnya. maka secara yuridis, ia kehilangan haknya atas barang itu, dan hak pemilikan barang berpindah kepada pihak pembeli.
                Dalam kenyataannya, pihak penjual menerima uang penjualannya dalam jumlah yang tidak seimbang dengan nilai/harga barang yang dijualnya. Dalam hal penjual tidak berhasil membeli kembali barangnya — pada umumnya disebabkan karena ketidak-mampuannya untuk membeli kembali — maka pihak pembeli merupakan pihak yang secara pasti memperoleh keuntungan

Penutup
            A.    Kesimpulan
      Hukum Tertulis adalah hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan perundangan. Hukum tertulis telah menjadi ciri dari hukum moderen yang harus mengatur serta melayani kehidupan moderen. Sedangkan hukum tidak tertulis adalah kebalikan dari Hukum Tertulis. Hukum tidak tertulis yaitu hukum yang tidak dituangkan/ dicantumkan dalam peraturan Perundang-undangan. Hukum tidak tertulis merupakan hukum yang hidup/ berjalan dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat/ adat atau dalam praktik ketatanegaraan/ konversi.
      Salah satu contoh hukum tertulis yaitu KUH Pidana (Kitab undang-undang hukum pidana). Hukum pidana memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan. Dan contoh dari hukum tidak tertulis : Hukum Adat yang tidak ditulis/ tidak dicantumkan dalam perundang-undangan namun peraturannya sudah tertanam dan dipatuhi oleh daerah tertentu/ adat tertentu sehingga menjadi sebuah pedoman dalan tata pelaksanaan kehidupan bermasyarakat.



Daftar Referensi

Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2014
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi. Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. 2015.
Busyro Muqoddas. 1996. Penerapan Hukum Tidak Tertulis Dalam Putusan Hakim.Vol 3. Hlm 39-40. https://media.neliti.com/media/publications/87212-ID-penerapan-hukum-tidak-tertulis-dalam-put.pdf



[1] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2014) h.71
[2] Ibid, h. 72
[3] Ismu Gunadi dan Jonaedi Effendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2015) H. 7-8.

Jumat, 20 April 2018

Mendahulukan Kedua Lutut Saat Turun Sujud


Serial : buletin dakwah, 12 sep. 2011
Ikhroj : pondok ta'lim Qimisyi Asy-syafii (sekarang majlis At-Tawwabun)

"MENDAHULUKAN KEDUA LUTUT SAAT TURUN SUJUD"
Oleh : Zet Hadi Elhabsyi
Kejayaan Islam kerap kali dinodai oleh umat islam itu sendiri, entah di dalamnya memuat kepentingan pribadi ataupun golongan. Agama islam seolah mengalami pasang-surut seiring dengan banyaknya peristiwa-peristiwa yang tidak mencerminkan Ukhuwah Islamiyah. Masalah-masalah yang terjadi terkadang agak lucu dan mengundang tawa setiap yang mendengarnya. Bagaimana tidak, sebagian golongan terkesan saling memaksakan pendapat atau kehendak dalam berhukum. Padahal ketika diteliti, kalangan ulama-pun tidak sampai mempermasalahkannya. Bahkan anehnya, urusan yang diperdebatkan telah kelar pada masanya. Bukan maksud menyaingi pendapat lain, tema yang kami angkat semata-mata ingin mendidik dengan bijak segenap kaum muslimin serta sebagai penambah pengetahuan khususnya untuk pengikut madzhab Syafi'i. Kami hanya berharap agar semua pihak kembali pada sebuah qoidah :
الخروج من الخلاف مستحب
"Menghindar dari perselisihan itu dianjurkan" (Al-Asybah)
"PENDAPAT ULAMA"
Imam Auza'i berpendapat, turun menuju sujud dengan mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw melarang seperti menderumnya (berlutut) unta. Imam Malik dan Ibnu Hazm juga berpendapat sama, yakni menganjurkan mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut ketika hendak turun sujud.
Sedangkan Imam Nawawi, Ibnu Mundzir dan Ibnu Qoyyim berpendapat turun menuju sujud dengan mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan. Pendapat ini berdasarkan riwayat dari Wa'il bin Hujrin dan Syarik bin 'Ashim, bahwa Rasulullah Saw mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Pendapat inilah yang dianut oleh Ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah.
Imam Shon'ani berpendapat hadits yang bersumber dari Abu Hurairah lebih kuat dari sisi sanadnya, karena memiliki syahid (penguat) dari riwayat Ibnu Umar. Namun jika ditelusuri lebih jauh, riwayat Wa'il bin Hujrin memiliki sumber riwayat yang banyak. Selain dikeluarkan oleh pemilik kitab sunan 4, juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Anas bin Malik yang dikeluarkan oleh Imam Daruquthni, Al-Hakim dan Baihaqi.
Selain itu, Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya meriwayatkan sebuah hadits dari Mush'ab bin Sa'd bin Sa'ad bahwa ia diperintahkan untuk mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya ketika hendak turun sujud setelah sebelumnya ia mendahulukan kedua tangannya. Imam Ibnu Khuzaimah mengatakan bahwa keterangan yang menunjukkan mendahulukan kedua tangan adalah mansukh (dihapus) dengan adanya keterangan berikutnya yang menjadi nasikh (penghapus). Karena setiap yang lebih akhir, maka itulah yang menjadi nasikh (penghapus) atas sebelumnya.
PENILAIAN ULAMA TERHADAP KEDUA HADITS
Imam Shon'ani memilih riwayat Abu Hurairah karena lebih rojih dari riwayat Wa'il bin Hujrin, dan pendapat ini berselisih dari imam beliau sendiri yaitu Imam Syafi'i. Sedangkan menurut Imam Nawawi, belum terdapat adanya kalangan madzhab yang memberikan tingkatan rojih terhadap pendapat mana pun. Tetapi kalangan madzhab Syafi'i memilih riwayat Wa'il bin Hujrin sebagai pendapat yang lebih rojih. Mereka menilai riwayat Abu Hurairah sebagai hadits yang "MUDHTHORIB". Yaitu hadits yang diriwayatkan melalui lebih dari satu jalur dengan tingkat kekuatan sama, dan tidak mungkin untuk disatukan serta dipilih salah satu yang terkuat. Tetapi seandainya dapat dipilih satu yang terkuat diantara lainnya, maka diperbolehkan mengamalkan yang lebih kuat dari yang lainnya tersebut. Tidak hanya itu, Ibnu Qayyim menilai bahwa riwayat Abu Hurairah sebagai hadits "QOLBAN/MAQLUB". Yaitu digantinya salah satu kata pada sanad dan matan, dengan mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa mendahulukan kedua lutut sebelum kedua tangan lebih kuat dengan 3 alasan :
1.      Hadits Abu Hurairah dimansukh dengan hadits Mush'ab bin Sa'd (Sa'ad bin Abi Waqosh) yang terdapat dalam shohih Ibnu Khuzaimah.
2.      Riwayat Abu Hurairah "MAQLUB", yaitu terbaliknya kalimat yang menyatakan mendahulukan kedua tangan dengan kedua lutut (وليضع يديه قبل ركبتيه) yang seharusnya (وليضع ركبتيه قبل يديه). Hal ini dikuatkan oleh Ibnu Qoyyim, ia berpendapat bahwa menderumnya unta justru dengan mendahulukan kedua tangannya.
Pada hadits Abu Hurairah terdapat rowiy yang dhoif, yakni Ad-Darowardiy dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan. Imam Bukhoriy menilai Muhammad bin Abdullah bin Hasan sebagai orang yang tidak disetujui (لا يتابع عليه).

Kendati telah kita temukan sejumlah pendapat yang dianggap lebih kuat, tentu saja itu bukan merupakan akhir dari keinginan kita untuk mengkajinya kembali. Karena seperti kita pahami bersama, bahwa masalah ini akan menjadi bagian dari kelengkapan agama allah swt jika semua kalangan dengan hati yang terbuka mau menerima serta menghargai usaha para ulama dalam menemukan solusi dari sebuah permasalahan. Dan yang terpenting adalah, agar umat islam tidak membiasakan diri untuk saling tuduh-menuduh sebelum menemukan arti dari sebuah toleransi, serta tidak menghakimi orang lain dalam keyakinannya.

*Hadits:

اذا سجد احدكم, قلا يبرككما يبرك البعير, وليضع يديه قبل ركبتيه

Jika kamu sujud, maka janganlah menderum seperti menderumnya unta, hendaklah ia meletakkan kedua tangan sebelum kedua lututnya.” (Abu Dawud, Tirmidziy & Nasa’i)

رايت النبي الصل الله عليه وسلم : اذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه

“Aku melihat baginda nabi saw jika sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya.” (Abu Dawud, Tirmidziy, Nasa’i & Ibnu Majah)

*Rujukan : kitab Subulus Salam/Shohih Ibnu Khuzaimah/Roudhotuth Tholibin/Tuhfatul Ahwadziy Syarah Tirmidyi.

والله اعلم


Rabu, 18 April 2018

Ruang lingkup dan klasifikasi Sains


A. Pengertian Sains

Objek ilmu dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Adapun sains membatasi ruang jelajahnya hanya pada alam materi atau semua bentuk pengalaman manusia. Artinya, objek penelaan sains meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat panca indra.[5] Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di alam sekitar menjadi ranah kajian ini. Al-Quran menyebutkan dengan istilah “فِي الْآفَاقِ وَفِ أَنْفُسِهِمْ ” sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut: 

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ﴿سورة فصلت: ٥٣﴾

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S.al-Fushshilat [41]: 53) 

  Sains (science) menurut Webster’s New World Dictionary berasal dari kata Latin, scire yang artinya mengetahui. Dalam hal ini tidak berbeda dengan knowledge (pengetahuan). Secara terminologi, sains adalah suatu eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi dan mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratu rmengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu meguji diri sendiri
  Sains bukan sekadar pengetahuan, tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, sains terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dalam Islam sebagaimana termaktub dalam al-Quran banyak perintah untuk memperhatikan alam dan hanya diresapi manfaatnya oleh orang-orang yang memikirkannya. Misalanya firman Allah mengenai keutamaan madu di dalam surah al-Nahl:

ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿سورة النحل: ٦٩﴾

    Artinya: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang memikirkan.” (Q.S. al-Nahl [16]: 69)

   Wujud kongkrit dalam memandang objek sains adalah adanya keyakinan tentang penciptaan, ketundukan, karakteristik dan keteraturan benda-benda tersebut kepada Allah. Dalam konteks ini, para scientist (ilmuwan) harus membedakan antara penciptaan dengan rekayasa. Para ilmuwan bias merekayasa tetapi mereka tidak bias menciptakan, sehingga mereka menyadari kelemahannya. Dengan konsep ini, sains tumbuh di atas landasan kesadaran ketuhanan, sehingga terdapat keterpaduan antar sains dengan agama. Dengan adanya kesadaran ketuhanan tersebut menyebabkan kegiatan sains yang bersifat profane menjadi aktivitas yang bernuansa religius. 


B. TujuanSains
     Sains memiliki tujuan untuk dapat menghasilkan suatu model yang dapat di gunakan untuk realitas. Yang pada umumnya suatu penyelidikan ilmiah dapat menggunakan beberapa bentuk metode secara ilmiah. Metode yang sering dipakai adalah:
1. Observasi
2. Hipotesis
3. Prediksi
4. Penelitian
5. Kesimpulan

C. Klasifikasi Sains
    Bidang sains dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian yang diantaranya adalah:
1) Kimia (Chemistry)
     Kimia adalah cabang dari ilmu fisik yang mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, dan perubahan materi
2) Biologi (Biology)
    Biologi adalah kajian tentang kehidupan, dan organisme hidup, termasuk struktur, fungsi, pertumbuhan, evolusi, persebaran, dan taksonominya.
3) Fisika (Physics)
     Fisika adalah sains atau ilmu alam yang mempelajari materi beserta gerak dan prilakunya dalam lingkup ruang dan waktu, bersamaan dengan konsep yang berkaitan seperti energi dan gaya.

Menjaga Lisan

MENJAGA LISAN
Lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Lisan merupakan anggota badan manusia yang cukup kecil jika dibandingkan anggota badan yang lain. Akan tetapi, ia dapat menyebabkan pemiliknya ditetapkan sebagai penduduk surga atau bahkan dapat menyebabkan pemiliknya dilemparkan ke dalam api neraka.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إن العبد ليتكلم بالكلمة من رضوان الله , لا يلقي لها بالا , يرفعه الله بها درجات , و إن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله , لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم
Sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan keridhoan Allah, namun dia menganggapnya ringan, karena sebab perkataan tersebut Allah meninggikan derajatnya. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan kemurkaan Allah, namun dia menganggapnya ringan, dan karena sebab perkataan tersebut dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
      A.    Wajibnya Menjaga Lisan
Allah Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Qotadah menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu tidak melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan ‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban atas semua hal tersebut.”
Ibnu katsir menjelaskan makna ayat di atas adalah sebagai larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu. (Tafsir Ibnu Katsir)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka katakanlah perkataan yang baik atau jika tidak maka diamlah.”(Muttafaqun ‘alaihi)
Imam Asy-Syafi’i menjelaskan makna hadits di atas adalah, “Jika engkau hendak berkata maka berfikirlah terlebih dahulu, jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” (Asy-Syarhul Kabir ‘alal Arba’in An-Nawawiyyah)
      B.     Ciri Muslim yang Baik
Termasuk tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia mampu meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.”
Oleh karena itu, termasuk di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia menjaga lisannya dan meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bahkan perkataan yang dapat mendatangkan bahaya bagi dirinya.
      C.    Bahaya Tidak Menjaga Lisan
Salah satu bahaya tidak menjaga lisan adalah menyebabkan pelakunya dimasukkan ke dalam api neraka meskipun itu hanyalah perkataan yang dianggap sepele oleh pelakunya. Sebagaimana hal ini banyak dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam salah satunya adalah hadits yang telah disebutkan di atas.
Atau dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga dan menjauhkannya dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini”maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)
      D.    Buah menjaga lisan
Buah menjaga lisan adalah surga. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من يضمن لي ما بين لحييه وما بين رجليه أضمن له الجنة
Barangsiapa yang mampu menjamin untukku apa yang ada di antara kedua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) aku akan menjamin baginya surga.” (HR. Bukhari)
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk menjaga lisan dan kemaluannya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah, dalam rangka untuk mencari keridhaan-Nya dan mengharap balasan berupa pahala dari-Nya. Semua ini adalah perkara yang mudah bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala. (Kitaabul Adab)
Ketika kita telah mengetahui bahaya yang timbul akibat tidak menjaga lisan, dan kita pun telah mengetahui bagaimana manisnya buah menjaga lisan, sudah sepantasnya kita selalu berfikir sebelum kita mengucapkan suatu perkataan. Apakah kiranya perkataan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah Ta’alaatau bahkan sebaliknya ia akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Cukuplah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala (artinya):
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaaf: 18).
Juga firman Allah Ta’ala (artinya):
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa meluruskan lisan-lisan kita, memperbaiki amalan-amalan kita dan memberikan kita taufik untuk mengamalkan perkara yang Dia cinta dan Dia ridhai.
Daftar Pustaka
Asy-Syarhul Kabir ‘Alal Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin Dll, Maktabah Al Islamiyyah, Kairo
Tafsir Ibnu Katsir, Abul Fida’ Isma’il Bin ‘Umar Bin Katsir Al Qurosyi, Daaruth Thoyyibah (Maktabah Syamilah)

Entri yang Diunggulkan

WALI TANPA NAMA DAN TANPA GELAR

WALI TANPA NAMA DAN TANPA GELAR Suatu hari aku bertemu dengan orang gila ( Al-majnuni Murokab )tak jauh dari makam seorang wali, ia...