Jumat, 04 Mei 2018

MAKALAH PENGANTAR HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL : BAITUL MAAL WA AT TAMWIL

MAKALAH PENGANTAR HUKUM ISLAM DAN PRANATA SOSIAL : BAITUL MAAL WA AT TAMWIL

Dalam kehidupan bermasyarakat, umat islam saat ini sangat jauh berbeda dengan yang kita saksikan pada masa rasulullah. Kehidupan bermasyarakat pada masa rasulullah sangat jelas terlihat dengan adanya rasulullah yang menjadi pemandu utama bagi umat islam dalam menjalankan syariat. Karena sebagian besar ajaran-ajaran yang terdapat di dalam syariat islam adalah tentang hubungan manusia dengan manusia (sosial) disamping hubungan manusia dengan Allah (habluminallah).
Oleh karena banyaknya ayat-ayat yang membahas tentang muamalah disamping membahas tentang tauhid. Maka untuk menjalankan syariat islam secara kaffah (menyeluruh), umat islam sangat membutuhkan sebuah alternatif sebagai pemandu untuk menjalankannya. Alternatif yang dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah baitul mal wa at tamwil (BMT).
Sebelum membahas lebih jauh lagi mengenai kehidupan bermasyarakat umat islam, alangkah lebih baiknya terlebih dahulu kita mengetahui apa yang dimaksud dengan BMT yang berfungsi sebagai alternatif umat islam dalam menjalankan syariat islam yang berkaitan dengan hubungannya dengan sesama manusia. Untuk mendefinisikan arti dari BMT perlu kita pisahkan dahulu kata per kata untuk dapat memudahkan kita memahami secara lebih mendalam tentang definisi dari BMT.
Baitul mal merupakan sebuah rumah dana (harta) yang biasa digunakan untuk menerima, mengelola dan mendistribusikan hasil zakat, infak dan sedekah (ZIS) yang diperoleh dari umat islam kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Istilah baitul mal sendiri sudah ada sejak zaman para khulafaurrasyidi khususnya pada masa khalifah umar bin khattab yang merupakan pelopor utama berdirinya baitul mal ini.
Sedangkan at-tamwil merupakan rumah usaha (bisnis) yang bermotif keuntungan (laba). Jadi, BMT adalah sebuah lembaga Negara yang bertugas menerima, mengelola, dan mendistribusikan zakat, infak dan sedekah yang diterima dari umat islam kepada orang yang lebih membutuhkan dengan motif bisnis atau dengan kata lain mendapatkan keuntungan atas pengelolaan mereka terhadap ZIS yang diterima dan kemudian disalurkan kepada yang lebih membutuhkan. BMT merupakan lembaga Negara yang bergerak di bidang sosial sekaligus juga bisnis yang mencari keuntungan.
Pada mulanya, istilah BMT terdengar pada awal 1992. Istilah ini muncul dari prakarsa sekelompok aktivis yang kemudian mendirikan BMT Bina Insan Kamil di jalan Pramuka Sari II Jakarta. Setelah itu, muncul pelatihan-pelatihan BMT yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), di mana tokoh-tokoh P3UK adalah para pendiri BMT Bina Insan Kamil.[1]
BMT lebih banyak bergerak di bidang sosial kemasyarakatan demi terwujudnya cita-cita umat islam yang menjalankan syariat secara kaffah khususnya dalam bidang ekonomi. Dengan adanya BMT, umat islam memiliki alternatif untuk menyalurkan zakat, infak dan sedekah yang selama ini hanya ada dalam angan-angan mereka karena kendala sebuah lembaga yang belum ada sebelumnya seperti BMT ini.
Banyak faktor yang mendorong lahirnya BMT ini, ada yang berpendapat bahwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang hidup serta berkecukupan muncul kekhawatiran akan timbulnya pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan hanya dipengaruhi dari aspek syiar islam, melainkan juga dipengaruhi oleh lemahnya ekonomi masyarakat. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah Saw, “kefakiran itu mendekati kekufuran,” maka keberadaan BMT diharapkan mampu mengataasi masalah ini lewat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat[2]


[1] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2014,  hlm. 355
[2] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

WALI TANPA NAMA DAN TANPA GELAR

WALI TANPA NAMA DAN TANPA GELAR Suatu hari aku bertemu dengan orang gila ( Al-majnuni Murokab )tak jauh dari makam seorang wali, ia...