Minggu, 27 Mei 2018

POLIGAMI DALAM SATU AKAD


Nama                           : Sahrul Amin
NIM                             : 170202001
Kelas                           : II(A)
Jurusan                        : Ahwal Syakhshiyah
Mata Kuliah                 : Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu         : Lalu Ahmad Rizkan, MHI.
“Poligami Dalam Satu Akad”

Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara teminologi, poligami yaitu “seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.[1]
Pandangan islam terkait poligami yaitu bahwa poligami merupakan salah satu syariat yang terdapat di dalam islam. Hal ini sesuai dengan yang telah dituangkan di dalam al-quran surat an-nisa’:3
وان خفتم الا تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم الا تعدلوا فواحدة او ما ملكت ايمانكم ذلك ادنى الا تعولوا
“dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mmenikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”.
Poligami ini sudah ada jauh sebelum adanya islam, dalam satu riwayat dikatakan bahwa istri nabi sulaiman sekitar 700 orang. Sedang di riwayat yang lain dikatakan bahwa istri beliau sekitar 1000 orang. Kemudian setelah datangnya islam beserta syariat poligaminya bukan dalam rangka merendahkan harkat dan marabat seorang perempuan. Akan tetapi, dengan adanya syariat ini justru demi menjunjung tinggi harkat dan martabat mereka dengan membatasi jumlah maksimal istri seorang laki-laki hanya pada empat orang wanita. Tidak hanya itu, islam juga memberikan syarat kepada laki-laki yang ingin mengamalkan syariat ini dengan “dapat berlaku adil” berdasarkan surat an-nisa’ ayat 3:
فان خفتم الا تعدلوا فواحدة
“Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja”.
Menurut Sayyid Quthub, yang dimaksud dengan keadilan dalam hal tersebut ialah keadilan dalam memberi nafkah, keadilan menjaga dan memelihara, keadilan dalam mencukupi segi-segi kebutuhan para istri, yaitu kebutuhan keuangan, biologis dan psikologis. Adapun soal perasaan dan hati yang tidak dapat diwujudkan dalam bentuk kehidupan lahiriah, keadilannya tidak berada dalam batas kesanggupan manusia. Yang dituntut dalam hal itu ialah jangan menunjukkan kecenderungan berat sebelah kepada yang satu sehingga yang lain menjadi terkatung-katung. Dalam hal ini, Allah swt menyatakan firman-Nya:
ولن تستطيعوا ان تعدلوا بين النساء ولو حرصتم فلا تميلواكل الميل فتذروها كالمعلقة   
النساء :129
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan lain terkatung-katung. (QS. An-Nisa’: 129)[2]
Hikmah poligami akan terlihat secara gambling ketika perang ataupun wabah penyakit melanda, di mana pada saat-saat seperti ini kaum wanita terkadang bisa menjadi lebih banyak disbanding kaum pria. Sehingga, poligami dalam situasi seperti ini akan menjadi solusi bagi bermacam-macam problem psikologis dan moral.[3]
Sayyid Quthub memandang bahwa poligami merupakan dispensasi yang ditentukan oleh angka perbandingan antara jumlah pria dan wanita, bukan ditentukan oleh teori atau undang-undang. Karena itu, jika jumlah pria yang telah mencapai usia dewasa dan siap bersedia kawin jumlahnya seimbang dengan jumlah wanita yang telah mencapai usia dewasa dan bersedia dikawin, maka praktis tidak ada alasan sama sekali bagi seorang pria mempunyai isteri lebih dari seorang wanita. Sebab, dalam hal itu yang menentukan adalah angka.[4]
Hal tersebut sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw tentang tanda-tanda kiamat yang terdapat di dalam buku “HADITS SHAHIH AL-JAMIUS SHAHIH BUKHARI MUSLIM”:
ان من أشراط الساعة أن يرفع العلمز ويظهر الجهل ويفشو الزنا ويشرب الخمر ويذهب الرجال وتسقى النساء حتى يكون لخمسين أمرأة قيم واحد (رواه الشيخان)
“Sesungguhnya dari tanda-tanda datangnya kiamat yaitu: ilmu akan diangkat. Munculnya kebodohan. Tersebarnya perzinahan. Minuman keras (khamar) dijadikan minuman. Orang laki-laki banyak yang pergi (meninggal atau jumlahnya sedikit), tinggal para wanita sehingga keadaannya bagi-50 orang wanita untuk seorang laki-laki (banyak wanita daripada laki-laki). (HR. bukhari – Muslim”).[5]
Masalah tidak seimbangnya jumlah pria dan wanita bisa disebabkan oleh suatu peperangan atau wabah penyakit yang banyak menelan korban kaum pria daripada kaum wanita, atau disebabkan oleh banyaknya kaum pria yang tidak dapat melakukan perkawinan karena faktor ekonomi, kekeluargaan atau masalah-masalah sosial lainnya.[6]
Dalam hal terjadinya ketidakseimbangan jumlah pria dan wanita, Sayyid Quthub memberikan contoh Negara Jerman setelah Perang Dunia II. Di sana terdapat ketimpangan dengan perbandingan 3 : 1 (tiga gadis yang telah mencapai usia perkawinan berbanding satu orang pemuda dalam usia yang sama), yaitu masing-masing berusia antara 20 dan 45 tahun.[7]
Adapun kaitannya dengan poligami dalam satu akad adalah bahwasanya sama halnya dengan poligami yang dilakukan oleh seorang di waktu yang berbeda-beda. Karena poligami pada hakikatnya hanyalah untuk memelihara setiap laki-laki muslim daripada menjadi laki-laki hidung belang yang memiliki banyak pacar simpanan, lebih baik adanya poligami ini daripada terjadinya seks bebas dan penyimpangan perilaku seks serta pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah seperti yang banyak terjadi di barat seperti Eropa dan Amerika sekarang
Terakhir, kita tak boleh lupa bahwasanya istri kedua juga merupakan seorang wanita yang bermaksud untuk memelihara kesucian dirinya dengan cara menikah walaupun dengan orang yang sudah beristri yang mana disebut oleh masyarakat dengan istilah poligami.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdur Rahman. 2006. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana.
Quthub, Sayyid. 1983. Islam Dan Perdamaian Dunia. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Musayyar, Sayyid Ahmad. 2008. Fiqih cinta kasih. Terjemahan oleh Habiburrahim. Penerbit Erlangga.
Bahresj, Hussein. Hadits Shahih Al-Jamius Shahih Bukhari Muslim. Surabaya: Karya Utama.
Junaedi, Dedi. 2010. Bimbingan Perkawinan. Jakarta: Akademika Pressindo.


[1]Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), H. 129.
[2] Sayyid Quthub, Islam Dan Perdamaian Dunia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1983), h. 72.
[3] Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Akhlak Al-Usrah Al-Muslimah Buhuts Wa Fatawa, Terj. Habiburrahim, (Penerbit Erlangga, 2008), H. 117
[4] Sayyid Quthub, op. cit. h. 67.
[5] Hussein Bahresj, Hadits Shahih Al-Jamius Shahih Bukhari Muslim, (Surabaya: Karya Utama), h. 14.
[6] Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 259-260.
[7] Sayyid Quthub, op. cit. h. 68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

WALI TANPA NAMA DAN TANPA GELAR

WALI TANPA NAMA DAN TANPA GELAR Suatu hari aku bertemu dengan orang gila ( Al-majnuni Murokab )tak jauh dari makam seorang wali, ia...